Rabu, 30 Desember 2009

refleksi pendidikan menghadapi persaingan global 2010

Pada sejarahnya perdagangan bebas lahir oleh para ahli ekonomi selama dua abad pada saat dunia ini sedang mengalami depresi besar pada akhir 1920-an sampai dengan akhir 1930-an dimana seluruh Negara mengalami sebuah kontraksi ekonomi serta pembatasan impor. Pembatasan yang dilakukan tentunya memukul perekonomian Negara-negara lainnya. Iniliah yang berlanjut secara terus-menerus sehingga menciptakan sebuah lingkaran setan yang tak berujung. Sementara Negara-negara dunia terperangkap dalam lingkaran setan maka pasca perang besar (perang dunia II) seluruh Negara di belahan dunia berusaha untuk meciptakan stabilitas keuangan dengan menciptakan organisasi dunia di bidang ekonomi seperti International Monetery Fund (IMF), International Trade Organization (ITO), dan kemudian World Trade Organization (WTO). Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka dengan dinamika ekonomi organisasi dunia yang ada, Indonesia sebagai salah satu Negara yang masuk kedalam perkancahan ekonomi global harus mampu merespon segala fluktuasi ekonomi dan politik yang terjadi demi keberlanjutan pembangunan bangsa, terlepas dari fakta dan dosa sejarah masa lalu.
Pada hakikatnya pasar bebas tidak hanya dimaknai sebagai arena pertarungan Negara-negara dunia sebagai ruang berkompetisinya produk-produk atau komoditas materil seperti (barang elektronik, makanan, buah-buahan, dsb.) tetapi pasar bebas tersebut tentu juga membuka lebar arena pertarungan SDM tiap Negara dalam masuk kedalam setiap sendi-sendi pembangunan Negara tanpa mengenal batasan teritorial. Pasar bebas tidak pernah mengklasifikasikan antara Negara berkembang dan Negara maju dalam bingkai globalisasi, semuanya terlihat seimbang sebagai sebuah Negara yang memiliki tombak perekonomian dalam sebuah persaingan walaupun sebenarnya dunia ini sedang tidak dalam keadaan seimbang. Pertumbuhan Negara maju seperti Amerika serikat, Inggris serta negara Eropa lainnya sungguh sangat jauh berbeda dengan Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dll. Apakah kita perlu melakukan renegoisasi terhadap kebijakan global yang telah ada demi mengcounter dampak krisis yang hebat ? ataukah Negara seharusnya lebih mampu menciptakan SDM yang berkualitas untuk kondisi dilematis ini !!. Maka dari itu mestinya pendidikan diposisikan dalam peranan yang sangat penting dalam mendongkrak Human development Indeks (HDI) di Indonesia yang berkorelasi positif pada peningkatan kualitas SDM. Data terakhir tahun 2007 peringkat HDI kita menurun dari 107 ke peringkat 111, satu tingkat diatas Bolivia dan Honduras yang menduduki peringkat 112 dan 113 dari 175 Negara. Hal ini mestinya menjadi perhatian penuh pemerintah, apalagi untuk menghadapi CAFTA (China Asean Free Trade Area) 2010, kualitas SDM sangatlah menentukan pembangunan bangsa Indonesia di masa yang akan datang demi anak cucu kita sebagai penerus bangsa.
Paradigma neoliberal yang memiliki prinsip menolak campur tangan pemerintah dalam penataan kegiatan ekonomi, sehingga selalu menjadi momok menakutkan bagi pembangunan bangsa karena tidak sesuai dengan amanat UUD-RI, juga jika di sorot dari perspektif pembangunan independensia akibat dari tidak mampunya masyarakat kita bersaing dalam arena globalisasi. Kurikulum pendidikan kita kadang terlihat tidak proyektif terhadap tantangan masa depan, yang menuntut akselerasi SDM agar mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Kita dapat menerjemahkan secara implisit neolib adalah neokolonialisme bagi Indonesia, ketika kita tidak memiliki pondasi perekonomian yang kuat maka selamat datang penjajahan model baru.

SDM Indonesia Hari Ini dan Masa yang Akan Datang

Pada tahun 1998 lalu Sumber Daya Manusia (SDM) dianggap sebagai modal dasar pembangunan. SDM di Indonesia masih dapat dikategorikan kualitas rendah dalam kualitas mental, cara berfikir, kreativitas, teknologi dan lain sebagainya. Masalah dari SDM Indonesia salah satunya adalah pelayanan pendidikan yang tidak terjangkau ke seluruh lapisan masyarakat. Data arus siswa dari Balitbang Diknas pada tahun 2000 menunjukkan dari sekitar 26 juta anak usia 0-6 tahun baru sekitar 7,5 juta (27%) yang terlayani berbagai satuan pendidikan prasekolah. Anak usia 4-6 tahun yang total jumlahnya 12,6 juta masih sekitar 8 juta (63,4%) yang belum terlayani. Selain itu belum semua anak usia 7-15 tahun tertampung di SD dan SLTP untuk tingkat SD 7-12 tahun baru terlayani 24,4 juta dari 25,8 juta sedangkan untuk SLTP 13-`15 tahun baru terlayani 7,29 juta dari 13,1 juta anak yang berarti ada 5,8 juta yang tidak sekolah atau cakupan peserta didik baru 55,7%. Jika kita melihat retensi kotor ( waktu kelahiran sama) anak masuk SD yang dapat langsung melanjutkan pendidikannya sampai di Perguruan Tinggi angkanya lebih rendah lagi (hanya 11,6%) pada waktu yang seharusnya. Berarti ada sekitar 88,4% anak yang tertinggal di perjalanan pendidikan terendah, baik karena, tinggal kelas, putus sekolah, dsb. angka yang mencengangkan. Ini hanya untuk pendidikan formal saja, belum lagi pendidikan nonformal yang tentu saja harusnya turut menjadi perhatian pemerintah. Untuk pendidikan formal saja pemerintah tidak becus, apalagi untuk pendidikan nonformal. Kelemahan pendidikan kita ini yang menjadi sebab awal lemahnya SDM Indonesia, belum lagi lewat lahirnya Undang-undang korporasi, penindas, Undang-undang yang tidak berpihak pada rakyat yaitu UU NO. 9 TAHUN 2009 Tentang Badan Hukum Pedidikan yang memperlebar stratafikasi social. Sebuah perundangan-undangan pendidikan yang mencoba menggiring pendidikan ke dalam arena mekanisme pasar melalui peraturan WTO lewat perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services).
Dari segi pendidikan masyarakat Indonesia terbagi dalam 4 golongan, yaitu : golongan A (kaya dan pintar), golongan B (kaya tapi bodoh), C (miskin tapi pintar), dan D (miskin dan bodoh),UU BHP hanya mengatur golongan A,B, dan C. golongan B yang komposisinya 30-40% sendiri justru terabaikan. Bahkan jatah untuk golongan C pun hanya 20%, itupun kalau pelaksanaannya terkontrol, kalau tidak mungkin hanya 3%. UU ini mengabaikan realitas empiris yang selama ini ada bahwa orang miskin dan bodoh yang selama ini bersekolah di sekolah-sekolah swasta pinggiran yang 90% biayanya mereka tanggung sendiri, dimana hak-hak golongan tersebut terabaikan dalam UU tersebut. (Darmaningtyas,Tirani Kapital Pendidikan).
Kita akan kehilangan karakter identitas kebangsaaan kita akibat dari tergesernya orientasi pendidikan pada penghidupan institusi bukan kepada penghidupan intelektualitas masyarakat, sehingga sebagian besar rakyat miskin dari 240 jutaan penduduk Indonesia tak lagi pasti dapat mengenyam pendidikan dengan layak, disebabkan meningkatnya biaya pendidikan.

Harapan Pendidikan Untuk Persaingan Global

Kekhawatiran saya akan salah kaprah pemerintah merespon pertarungan global yang kian hari kian mencekam, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak menggunakan asumsi rasional, bahwa pendidikan adalah pondasi awal pembangunan bangsa dengan peningkatan SDM. Pemerintah seakan shock melihat gencarnya pasar global menginvasi Indonesia, bangsa ini tak lagi memiliki karakter, tak lagi memiliki identitas kebudayaannya sehingga Keindonesiaan kita senantiasa tergeser. Kembali hilang harapan Indonesia sebagai macan asia, Negeri yang kaya akan potensi sumber daya alam dan juga sumber daya manusianya. Secara garis besar ada beberapa poin penting yang menurut hemat saya mesti diperhatikan upaya menghadapi CAFTA 2010, Yaitu : (1). Lakukan pembenahan secara radikal terhadap aksebilitas pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, (2). Rekonstruksi paradigma modernisasi yang tidak menjunjung nilai-nilai kebudayaan bangsa, (3). Pemberdayaan Pengusaha lokal dalam distribusi komoditas dalam dan luar negeri, dan (4). Diplomasi ekonomi ASEAN yang berkeadilan dan beradab.
Seperti pendidikan Marx bahwa keadilan hidup manusia adalah dimana ketika terciptanya ekonomi yang berkeadilan sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera tanpa adanya pertentangan kelas yang saling memakan satu sama lain (homo hominilupus). Jikalau bangsa ini adalah bangsa yang memiliki sejarah perjuangan yang besar dalam merebut kemerdekaannya, maka menjadi tugas kita bagi para penerus bangsa senantiasa memberikan kontribusi positif dalam pembangunan melalui pendidikan yang adil, berkualitas serta bermartabat demi kesejahteraan ekonomi bangsa.

Jumat, 03 Juli 2009

dekadensi kekosongan spirit..

Menjamah wajah penghidupan kian nisbi,,menerawang buramnya kehidupan...seolah tak terpegang kesempurnaan jiwa yg paripurna..titik tolak patriarki menjadi tanda tanya..
mungkin dia,mungkin bukan dia..
hmmm.. akankah jejak kaki semesta kan hadir menemani matahari dan bulan dalam persimpangan rotasi kehidupan ? ataukah rasa ini hanya kan selalu termanifestasi dalam balutan kata yg tak berujung...
bersembunyi di balik status quo,,tak menenangkan proyeksi spirit gerak jiwa menuju ke sesuatu yg sempurna, adakah dia menjadi kawan dalam merantai makna hingga akhir cerita..

Senin, 29 Juni 2009

Lahirnya Sinar Baru dari Rahim HMI..

Enam puluh tahun lalu, tepatnya 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam didirikan oleh Lafran Pane dan beberapa orang sahabatnya. Sebuah ikhtiar mulia yang dimaksudkan untuk membantu perjuangan negara ini mengisi kemerdekaan melalui jalur kebangsaan dan keummatan. Tak pelak, salah satunya karena landasan perjuangan “model” inilah HMI kemudian mendapat “tempat” di hati para mahasiswa islam di Indonesia.

Sebagai salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar sekaligus tertua di Indonesia, HMI senantiasa bergelut dengan dinamika kesejarahan bangsa ini. Karena memiliki kuantitas anggota dengan mekanisme kaderisasi tersendiri, HMI niscaya melahirkan banyak kader yang memiliki kualitas yang tidak bisa dianggap sepele. Dalam kancah kebangsaan, kader-kader HMI senantiasa mewarnai. Begitu pun di banyak bidang kebangsaan lainnya.( Asta Qauliyah).

Di tengah kemelut umat dan bangsa, HMI senatiasa mengabil peran strategis dalam pembangunan bangsa ini, segala gerak fluktuatif umat dan bangsa bagi saya HMI tetap memiliki kontribusi yang signifikan dalam bentuk apapun itu..

Melihat kesejarahannya HMI layaknya penggerak kultural bangsa, menciptakan wahana intelektualisme dalam kehidupan sosial Indonesia..,melahirkan pemimpin2 bangsa yang tentunya akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan maju…Tapi ketika kita mencoba untuk menggiringnya pada konteks kekinian, apakah HMI masih melakoni perannya dengan sungguh-sungguh ataukah HMI hanya besar dengan berjubah euphoria kebesarannya dimasa lampau ?

Itu menjadi otokritik bagi kader-kader HMI hari ini yang masih bergelut dalam ruang dialektika kompleksitas kebutuhan tiap kadernya..! atau apakah kader-kader HMI masih mengenal Altruisme untuk bangsa?? Saya menduga hanya tinggal egoisme yang akut yang ada..

Peringatan MILAD HMI ke 62 yang bertepatan pada tanggal 5 Februari 2009 betul-betul harus menjadi bahan refleksi untuk setiap kader untuk kembali pada jalan idealitasnya upaya pembangunan umat dan bangsa ! Kelahiran HMI pada tanggal 5 Februari juga turut melahirkan generasi baru dari rahim HMI..hari ini Rausyanfikr (nama anak itu) telah hadir di muka bumi ini dengan wajah yang membawa kebahagiaan dan ketentramaan seperti apa yang diharapkan HMI bagi bangsa ini..

Rausyanfikr lahir dari ayah dan ibu yang selama ber-HMI mengabdikan dirinya dengan penuh loyalitas dan tanggung jawab sebagai kader yang penuh dengan keyakinan Yakin Usaha Sampai :)

Mudah-mudahan spirit insan citpa akan selalu hadir dalam jiwa Rausyanfikr dan akan terus membawa kearifan serta menerangi jiwa-jiwa yang gelap dalam setiap kehidupan manusia !selamat MILAD HMI ke 60 dan juga lahirnya Rausyanfikr..
(untuk Fajrin, Nia dan Rausyanfikr kecil)

Faursyah Rosyidin
5Februari 2009

Disorientasi pendidikan politik PARPOL !

Usia reformasi yang telah menginjakkan umurnya lebih dari satu dekade, mengggiring demokratisasi ke arah yang lebih liberal senantiasa memantik tumbuh suburnya partai-partai politik di Indonesia. Ketika demokrasi dilihat pada perspektif masyarakat pada masa Orde Baru merupakan sebuah kegembiraan dan sebuah kemenangan besar dimana jalur-jalur demokratisasi betul-betul telah terbuka dengan lebar walaupun hanya sebatas formal-prosedural saja, jikalau kita masih mengingat pada masa itu yang ada hanya depolitisasi dan pengapungan massa yang senantiasa merapuhkan dan melemahkan spirit kebangsaan rakyat.

Dari situlah para tokoh-tokoh demokrasi yang merasa telah memenangkan pertarungan gagasan arah pembangunan bangsa dengan modal konsep demokrasi melawan otoritarianisme Orde Baru kemudian merekonfigurasi sistem perpolitikan di Indonesia yang kemudian melahirkan banyak partai politik yang dipercaya sebagai kendaraan aspirasi rakyat dan dapat menjadi tiang penyangga demokrasi negara. Pada Pemilu tahun 1999 ada 48 Parpol, pada tahun 2004 ada 24 Parpol dan tahun ini (2009) ada 38 Parpol dan 6 partai lokal (di Aceh) yang berkontestasi. Ini menjadi indikator perjuangan demokrasi telah berhasil menggiring pada implementasi liberalisasi perpolitikan di Indonesia. Tetapi yang menjadi sebuah kritikan besar untuk partai politik adalah apakah betul-betul telah berorientasi pada pencerdasan masyarakat sebagai elemen terbesar dalam penerapan demokrasi substansial ?? dan bukan hanya sekedar berorientasi pada tampuk kepemimpinan yang berkamuflase pada aspirasi rakyat !!

Kecemasan Partai Politik
Pemilu 2009 menghadirkan 44 partai politik termasuk di dalamnya partai politik lokal, menjadi sebuah kebingungan tersendiri buat masyarakat. Dengan banyaknya kontestan pemilu apakah cukup bersinergi pada efektifitas proses demokrasi di Indonesia yang tidak luput dari pengamatan kita telah banyak menghabiskan ongkos !! saya biasa menyebutnya Mangkos “Makan Ongkos”.

Proses demokrasi oleh partai politik hari ini terlihat banyak mengeluarkan banyak biaya yang tidak senantiasa menciptakan masyarakat sejahtera, bahkan sebaliknya..., kalau pun ada yang sejahtera untuk masyarakat pada umumnya hanya sementara dan momentum saja, bahkan kesejahteraan besar ada pada konveksi percetakan saja (mencetak banyak baliho dan spanduk partai untuk kepentingan kampanye) yang juga telah berkontribusi besar menciptakan polusi (kotoran dan sampah-sampah) di kota sampai di desa-desa. Pemilu kali ini bisa diartikan hanyalah sebagai ajang pamer ketampanan para caleg (walaupun mungkin tidak ada yang tampan), parade logo-logo dan atribut. Walaupun ada aksi real seperti bakti sosial, donor darah, dsb. Tetapi hal tersbut hanya bersifat temporal dan momentum saja demi untuk meraih simpati suara di TPS nantinya.

Strategi politik Parpol dalam berkampanye terlalu menurut saya terlalu kuno dan konservatif serta tidak berorientasi pada pencerdasan masyarakat, malahan begitu banyak praktik-praktik politik parpol yang tidak membawa nilai-nilai pendidikan politik untuk masyarakat.
Berbagi macam penyimpangan perpolitikan hasil dari disfungsi partai politik yaitu tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat, dimana untuk momentum pemilu 9 April nanti masyarakat membutuhkan gambaran yang jelas tentang visi dan misi serta strategi partai politik dalam memimpin negara ini, bukan dengan menyodorkan baliho-baliho, bendera-bendera dan gula janji-janji kosong.

Berbagai gagasan-gagasan dan janji-janji para caleg (calon legislatif) yang terus berulang tiap momentum pemilu yang tidak menunjukkan kinerja dan hasil sehingga janji-janji dan gagasan tersebut menjadi basi untuk memotivasi masyarakat dalam ikut dalam pesta demokrasi, ditambah lagi dengan kader-kader partai yang menduduki jabatan publik pada prosesnya tidak menunjukkan sikap aspiratifnya telah diberi nilai minus oleh masyarakat.

Pencerahan politik
Tugas dan fungsi Partai Politik adalah memberikan pencerahan pendidikan politik pada masyarakat. Momentum kampanye bagi partai tidak menjadi ajang uji gagasan untuk kepemimpinan bangsa tetapi hanya menjadi momen besar untuk bagaimana menarik massa sebesar-besarnya dan show force untuk kepentingan kekuasaan, terbukti beberapa proses pemilu yang telah melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa tidak mampu menunjukkan kinerja untuk mensejahterakan rakyat tetapi sebaliknya hanyak untuk mensejahterakan dan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya untuk kepentingan momentum berikutnya. Begitu banyak kebijakan-kebijakan yang tidak lahir dari kebutuhan masyarakat dominan, mungkin hanya lahir dari masyarakat minoritas yaitu upper class, misalnya proyek-proyek para kaum kapitalis.

Pemilu yang modern adalah pemilu yang menyodorkan hidangan yang lebih produktif dan membangun dibanding hanya menyedikan orkes-orkes yang tidak memiliki nilai pencerdasan politik, justru sebaliknya pembodohan politik, dimana masyarakat disuguhkan dengan orkes-orkes yang hanya memberikan kesenangan sesaat yang menurut saya sangat tidak sesuai dengan fungsi partai sesungguhnya. Kelakuan-kelakuan seperti itu hanya menciptakan fanatisme buta pada setiap partai politik sehingga hal tersebut sangat sesnsitif untuk menciptakan konflik horizontal dalam masyarakat. Jangankan konflik horizontal antar pendukung partai yang berbeda konflik pendukung dalam partai sendiri saja bahkan terjadi, misalnya saja salah satu partai nasionalis dalam menggelar kampanye terbuka di mojekerto terlibat perkelahian saat orkes partai berlangsung, bukan hanya para pendukung yang mengalami konflik, para kader pengurus dalam partai pun sering terlibat perkelahian. Mau dikemanakan wajah perpolitikan bangsa ini, sungguh ironis...

Mestinya tugas partai adalah bagaimana menciptakan pendukung yang memiliki tatanan ideologis partainya baik pada wilayah teorisasi maupun implementasi strateginya. Itulah tugas berat partai politik yang sejak dari dulu tidak pernah ada dalam benak pada para politisi kita.
Jadi secara sadar sebenarnya perpolitikan di Indonesia hanyalah milik para kelompok-kelompok partai saja bukan milik masyarakat, jikalau perpolitikan hanya milik partai saja apa bedanya sistem otoriter pada masa Orde Baru dengan sistem yang kita anggap demokrasi hari ini, atau bisa kita sebut dengan neo-otoritarian. konstalasi-konstalasi perpolitikan hanya berada pada tataran elit negara ini bukan berada di tangan rakyat atau kita bisa katakan rakyat hanya akan selalu menjadi kayu bakar untuk melanggengkan perpolitikan elit.

Mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan reflektif kita melihat wajah perpolitikan partai di Indonesia.

Cuap-cuap Ideologi Partai Politik !!


Momentum pertarungan politik pada pemilu legislatif 2009 baru saja meninggalkan sirkuit, saatnya para capres dan cawapres unjuk gigi mempertontonkan kekuatan kendaraan politiknya dalam beradu pada momentum pemilu ini. Tak beda dengan pemilu legislatif, pemilu eksekutif juga menggunakan partai politik sebagai kendaraan politiknya dalam pertarungan.

Logika demokratisasi adalah logika partisipasi, kontestasi dan akuntabilitas. Pola kontestasi dominan dimainkan oleh partai-partai politik sebagai satu-satunya kendaraan politik yang sah di mata regulasi pemilu. Jadi kekuatan partai adalah variabel yg paling substansial dalam mendorong legitimasi dalam tampuk kepemimpinan negara !

Partai politik setidaknya memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana pendidikan politik buat masyarakat, sarana komunikasi politik buat masyarakat, sarana rekruitmen politik dan sebagai peredam konflik. Keempat hal ini lah paling tidak menjadi gerakan partai politik. Tetapi fungsi-fungsi dari partai politik tidak akan dapat terwujud ketika parti politik tidak memiliki konsistensi dalam memperjuangkan ideologinya.

Ideologi partai politik tidak selesai hanya pada konstitusi atau AD/ART saja, tetapi ideologi parpol mestinya menjadi aksiologis pergerakan partai dalam mengemban misi demokrasi. Ingat ideologi yang saya maksud adalah ideologi ”partai” bukan ideologi ”kader partai”. Partai-partai politik hadir dalam sebuah petarungan politik atas dasar perjuangan kelompok-kelompok yang mengusung ideologi yang berbeda. Makanya akibat dari banyaknya partai adalah sebab dari banyaknya perbedaan ideologi sebuah kelompok.

Coba kita lihat kondisi partai politik kita hari ini dalam momentum pemilu. Sewaktu pemilu legislatif setiap parpol kencang berdialektika dengan ideologinya masing-masing untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa ideologi kami lah yang pantas dalam pembangunan negara ini ke depannya. Tapi coba kita lihat pada momentum pemilihan presiden, masihkan ideologi itu dipertahankan ??? ruang-ruang transaksional segera terbuka lebar hanya untuk satu kepentingan, yakni mendapatkan beberapa rupiah atau posisi legitimasi kekuasaan dalam struktur pemerintahan...hehehehe..a
neh..

Ideologi tak lagi menjadi suci untuk diperjuangkan, ideologi tak beda layaknya penikmat lara buat masyarakat untuk melihat masa depan bangsa yang entah diarahkan kemana..

Bukti kongkrit ideologi partai hanya dijadikan (maaf) pembalut kelamin yang gonta ganti tergantung situasi politik seperti banyaknya kader-kader partai yang tercerai berai dalam internal partainya sendiri karena persoalan rekruitmen politik kekuasaaan. Ideologi usungan partai tidak menjadi ikrar dalam setiap kadernya,,entah apakah kaderisasi yang asal-asalan, ataukah memang partai bohong-bohongan.Kalau kita memakai pendekatan alienasinya Marx..partai politik telah teralinasi oleh kadernya sendiri, teralienasi oleh ideoliginya sendiri teralinasi dengan ruang pertarungannya !! kasihan si partai..hihihi..

Sekali lagi partai politik tidak punya ideologi, yang punya ideologi adalah orang-orang dalam partai yang memiliki kepentingan individual dan menggunakan parpol sebagai kendaraan sekedar memenuhi hasrat kekuasan individu. Apa partai yang seperti ini anda butuhkan ? partai yang tdak punya kelamin,,ngak jelas pria atau wanita atau bahakan berkelamin ganda..xixixi silahkan tanya diri anda sendiri..klo saya sich..gak minat sama yang berkelamin ganda !!selanjutnya terserah anda..

Faursyah rosyidin
anak indonesia

Kaki ini telah jauh berjalan....


Malam dingin ditemani beberapa gerombolan nyamuk yg tak kenal lelah menjalani rutinitas kehidupannya..seolah tak punya kawan,,ia menghampiriku dengan wajah memelas penuh harap untuk stetes air kehidupan !!

Bersama dengannya ku utak atik Facebook ku tanpa orientas yg jelas,,grup ika smaga 05 makassar menjadi perhatianku ketika kulihat menjadi sorotan di berandaku...

Heeeh...wajah mereka seakan membuatku kembali dgn masa lalu yg indah..
semuanya terasa dekat...

Cangkir kopi pun kembali kuangkat untuk kesekian kalix ,,ku seruput cafein itu dan membuat metabolisme tubuhku begitu hangat..

Jalan ini terasa JAUH...mereka semua telah bermetamorfosis dalam jubah karakter dan kepribadiannya masing2...hihihi...semuanya terbayang kecut di depan bola mataku..tiap slide foto pun ku renungi betapa mereka begitu polos menjalani kehidupannya masing2.. dengan harap2 cemas,,mungkinkah setiap cerita mereka kan jadi satu rangkaian masa selakyaknya merangkai catatan menjadi buku yang berisi untuk dibaca...??

Saya tak tahu,,,perkawanan ini begitu kontras..mereka telah mengambil pilihan masing2..tp saya yakin esok hari ini kan jadi cerita yang manis untuk anak2 kami kelak !!jiwa ini masih muda...dan perkawanan ini kan selalu di balut dengan rasa kebersamaan yg utuh..hehehehe

Buat kalian semua,,,umur ini bisa bertambah,,,tapi jiwa ini kan slalu hadir mengisi ruang kosong untuk SMAGA 05 !!

TIDAK MAUja sekolah kayak ini !!

Bersedia...
Beri salam...
Selesai...

Itulah instruksi ketua kelas ketika guru tlah masuk ke dalam kelas...hihihi.. setiap rutinitas ceremonial terus dilakoni para peserta didik yg siap mendapatkan ilmu dari sang guru..yang melegitimasi dirinya lebih tahu dibanding kami para siswa-siswi... seolah gelas kosong yang siap dituangkan air pencerahan,...yg sebenarnya tidak begitu mencerahkan... pedagogi itu terus berjalan selama bertahun-tahun bersekolah di institusi formal yang wajib dijalani bagi anak bangsa demi status "berpendidikan" !!

Bersekolah, tidak begitu membuatku merasa cerdas,,kecuali merasa bangga sebagai anak yg berpendidikan dibanding anak lain yang tak mampu bersekolah...tetapi apakah kebanggaan yg kita cari ?? TENTU TIDAK !! kebanggaan itu sebentar lagi hilang seiiring ketidakmampuanku survive dalam kehidupan ini yg begitu kompetitif..tak satu bayangan pun yang membekas tajam dalam ingatanku ttg pelajaran yg kuperoleh dalam pendidikanku bersekolah,,kecuali canda tawa serta senda gurau dengan para sahabat2ku sepulang sekolah..

Ironis memang,,ketika sekolah (kurikulum) diorientasikan pada pembentukan karakter anak untuk bertahan hidup,,ternyata sia2..semuanya seakan hanya menjadi slogan negara yang hanya merealitas di dalam ide saja..

Ruang kelas begitu sunyi dan tegang seperti biasax,,guru tidak akan segan2 memarahi serta memukul kami jika ribut, dan tak nurut terhadap perintahx..

Saya paling takut dipanggil ke depan kelas dan mengerjakan tugas matematika,fisika atau kimia, yang memang dari dulu gak pernah mau masuk di nalarku..

Begitu banyak mata pelajaran yang harus kami kuasai selama bersekolah, yang nantinya tidak akan bermanfaat kelak,,coba tanyakan pada pada habibie,tahukah ia tentang kerja metabilosme tubuh katak dalam pelajaran biologi...??

Bukankah sistem centre learning yg dipahami adalah mendorong kemampuan siswa yang menjadi minatnya !! kalo suka matematika yah didukung..klo tidak suka matematika yah didukung juga !!

Kekakuan model pendidikan indonesia ini yang tidak pernah menjadi surga bagi para anak bangsa dalam bersekolah...jadi wajar saja kalau, banyak anak sekolah yg terlibat tawuran, proyek film porno,,dan juga bolos-bolos sekolah !! heeee...

Bagaimana dengan Thomas A. Edison yg tidak bersekolah, Bill Gates manusia terkaya di dunia yg menciptakan perusahaan terbesar itu yg tidak SARJANA...mampu menaklukkan dunia dengan karya-karyanya...

Aku tersentak termenung melihat kehidupanku selama ini, mugkinkah yg kujalani berarti,,,dan tidak menyepelekan hidupku yg berarti,.. entahlah..semuanya terasa begitu cepat..semuanya berlalu seakan menjadi cerita lama yg tidak berarti,..

Apa yang akan kukatakan pada kawan-kawanku yg lain yang tak sempat mengeyam pendidikan, klo ternyata secara tak sadaar aku hanya membuang-buang waktuku selama ini...

Pendidikan formal membunuh kreativitasku,,karakterku tak kutemukan disana...


Hari2 ini keseharianku di Kampus lebih sering kujalani dengan membaca buku2 yg menurutku nyaman dan bisa meningkatkan intelektualitasku,,,akau lebih memilih untuk nongkrong di kantin sambil membaca buku dengan ditemani dengan susu hangat...mungkin bagiku itu lebih bermanfaat daripada menghabiskan waktu di dalam kelas mendengarkan dosen yang sangat otoriter bercoleteh,,

Hidupku sangat berarti..dengan tidak menjalaninya dengan penuh keterpaksaan... karena betapa bodoh dan naifnya sesorang yang menjalani hidupnya berada dalam keterpaksaan...

Berhentilah..nikmati hidupmu,,kejar cita2mu dengan keyakinanmu,,karena hidup ini adalah pilihan..


Faursyah Rosyidin

Anak Indonesia
(inspirasi : ihza....)